Oleh: Dr. Rudy Kurniawan, Sp.PD, Dip.TH
Era pandemi menjadi tantangan tersendiri bagi para wisatawan (traveler) untuk berwisata. Tingginya risiko infeksi, restriksi berbagai tempat wisata hinggal rumitnya regulasi antardaerah ataupun antarnegara membuat masyarakat enggan bepergian. Hal ini berakibat turunnya jumlah wisatawan internasional hingga 72% di tahun 2021 dibandingkan tahun 2019 (sebelum pandemi). Untungnya, di pertengahan tahun 2022, tercatat kenaikan sekitar 20% dibandingkan tahun sebelumnya yang menunjukkan geliat pariwisata dunia mulai membaik.
Saat ini, berwisata atau yang lebih beken disebut dengan traveling tidak hanya bermakna sekedar jalan-jalan ke suatu tempat, tetapi juga termasuk proses serta interaksi yang terjadi selama traveling tersebut, baik dari segi budaya, sosial, ekonomi maupun kesehatan. Para traveler juga harus tetap sehat baik itu sebelum berwisata (pre-travel), saat berwisata (traveling), hingga saat pulang dari wisata (post-traveling). Sebagai contoh, tidak sedikit kejadian diare yang terjadi saat traveling. Berdasarkan penelitian Olson dkk, diperkirakan 1 dari 6 wisatawan mengalami traveler’s diarrhea setiap tahunnya. Padahal kondisi ini dapat dicegah bilamana wisatawan dapat menerapkan personal hygiene yang baik dan lebih selektif dalam memilih makanan serta minuman.
Selain itu, ada beberapa kasus infeksi yang mungkin terjadi saat traveling, seperti demam tifoid, hepatitis A, influenza, demam kuning, dan meningitis yang faktanya penyakit tersebut dapat dicegah dengan vaksin. Bahkan ada beberapa negara yang mewajibkan vaksin sebagai syarat untuk mendapatkan izin masuk, seperti Kenya, Liberia, Kongo dan sebagain besar negara di Afrika. Kemudian infeksi malaria yang juga dapat dicegah dengan pemberian obat-obatan profilaksis. Sayangnya, belum semua masyarakat mengetahui informasi tersebut.
Tidak hanya seputar infeksi dan vaksinasi, tetapi juga terkait dengan bahaya perjalanan (travel hazzard), misalnya ketika seseorang mendaki gunung atau pergi ke dataran tinggi, ada risiko terjadinya high altitude sickness, yaitu kondisi di mana terjadi gangguan tubuh akibat kurang adaptasi terhadap perubahan tekanan dan oksigen di ketinggian tertentu biasanya >3000m di atas permukaan laut. Gejala yang muncul dapat berupa batuk, sesak napas, gangguan kesadaran, hingga koma bila tidak tertangani dengan baik. Salah satu pencegahannya adalah dengan naik secara bertahap (gradual ascending) dan bila diperlukan dapat diberikan obat acetazolamide untuk membantu proses aklimatisasi.
Pencegahan terhadap infeksi dan bahaya perjalanan tidaklah lengkap bila kita tidak menerapkan kebiasaan sehat saat traveling. Berikut adalah beberapa kebiasaan sehat yang dapat kita lakukan :
Beragam persiapan perlu diperhatikan sebelum traveling. Persiapan ini sangatlah bervariasi dan kompleks tergantung dari
Sesuai dengan tema tahun ini, yakni Rethinking Tourism, kita diajak untuk berpikir kembali dan merefleksikan apa yang sudah dan akan kita lakukan saat traveling. Perlu kita ingat bahwa traveling tidak hanya sekedar pergi jalan-jalan, tetapi juga bagaimana meningkatkan interaksi serta kualitas beragam sektor, termasuk di bidang kesehatan demi mewujudkan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism).
Happy World Tourism Day
Bagikan